Rabu, 27 April 2011

Menyoal Ritual Ujian Nasional* Oleh: A Musthofa Asrori** (*)

BEBERAPA minggu terakhir, para siswa kelas XII (III SMA) harap-harap cemas menyongsong tahapan krusial dalam proses belajar mengajar di sekolah, yakni Ujian Nasional (UN). Sebuah agenda pamungkas yang mutlak diikuti seluruh siswa di seluruh penjuru Nusantara. Sebagaimana dilansir beberapa media, UN dilaksanakan 18-21 April 2011. Sementara UN untuk siswa SMP/MTs (dan sederajat) dan SD/MI (dan sederajat) akan menyusul dalam waktu dekat.

Peserta UN tahun ini sungguh fantastis: 10.409.562 siswa. Dari jumlah itu, peserta SMA/MA/SMK (dan sederajat) sebanyak 2.442.599 siswa, SMP/MTs 3.716.596 siswa, dan SD/MI 4.249.367 siswa yang tersebar di 234.342 sekolah. Agenda tahunan ini selalu menyisakan sederet persoalan dan tantangan, mulai stres pada sebagian siswa hingga hasil ujian yang tak mudah ditebak.

Betapa tidak, dari beberapa pengalaman di lapangan, siswa yang menempati rangking 10 besar kadang tak lulus ujian. Sebaliknya, murid dengan prestasi minim justru mendapatkan keberuntungan. Serangkaian acara lalu digelar untuk menyambutnya, mulai dari try out (uji coba), les privat, pengayaan materi (PM), hingga ritual istighotsah berjamaah semalam suntuk. Tujuan utama, agar para siswa tak gentar menghadapi UN.

Hal ini dilakukan karena UN sempat menjadi momok yang menghantui para siswa maupun pihak sekolah beberapa tahun terakhir ini. Ada anggapan dari sebagian orang bahwa tidak lulus UN merupakan aib. Tak ayal, segala macam cara ditempuh demi kelulusan para siswa. Terbukti, beberapa tahun terakhir ini ditemukan sejumlah kasus bocornya soal ujian di berbagai tempat.

Try Out dan Ritual Doa

Dalam menyongsong ujian, setidaknya ada dua aktivitas utama yang layak diperbincangkan. Pertama, uji coba (try out). Uji coba ini tampaknya telah mengalami pergeseran fungsi sehingga berdampak sistemik. Di sejumlah daerah, ada sekolah atau madrasah yang mengadakan try out empat hingga lima kali: (1) Try out UN mandiri yang diselenggarakan sekolah atau bekerja sama dengan lembaga bimbel; (2) Try out UN yang diadakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.

Kemudian, (3) khusus untuk madrasah, ada try out Pendididikan Agama Islam (PAI) dari Kelompok Kerja Madrasah (KKM) Kemenag kabupaten/kota; (4) Try out UN yang diadakan oleh KKM Kemenag kabupaten/kota; dan (5) try out UN yang dihelat oleh Kemenag Kanwil provinsi. Parade try out ini tentu membosankan sekaligus menambah beban psikologis karena terbayang ujian yang sangat berat. Kejenuhan siswa kian bertambah dengan adanya pengayaan materi di luar jam sekolah. Biasanya diadakan sepulang sekolah.

Persoalan kemudian, efektivitas try out maraton ini justru dipertanyakan relevansinya lantaran diadakan hingga beberapa kali. Padahal, uji coba ini idealnya cukup diadakan sekali atau dua kali demi efisiensi. Kita pun mafhum bila para siswa mengalami kejenuhan yang tiada terkira. Belum lagi biaya try out yang dibebankan kepada siswa. Alhasil, wali murid mesti merogoh kocek dalam-dalam.

Kedua, ritual doa bersama. Upaya mempersiapkan mental memang penting. Antara lain melalui doa bersama yang kadang sampai sepanjang malam. Tak ayal, kegiatan tersebut menuai polemik. Pro dan kontra tak terhindarkan. Sementara kalangan menilai, kegiatan semacam itu tak perlu, sebab menyita waktu belajar siswa. Kita melihat bahwa acara-acara yang digelar tersebut justru kontraproduktif. Alih-alih menenangkan, justru kegiatan itu malah menjadi beban tersendiri bagi anak didik. Mengapa? Jawabnya sederhana: lagi-lagi, efisiensi waktu.

Para siswa pada minggu-minggu menjelang UN justru memasuki “minggu tenang" untuk memantapkan diri menghadapi ujian. Aktivitas yang menyita waktu dan stamina sedapat mungkin dikurangi, termasuk kegiatan doa semalam suntuk yang justru berdampak buruk bagi kondisi fisik mereka lantaran kurang istirahat. Mereka harus menyiapkan fisik yang kuat dan stamina yang prima untuk menghadapi UN. Faktor fisik prima dan pikiran tenang sangat menentukan para siswa dalam menyelesaikan soal-soal UN.

Pada titik ini, ritual zikir atau doa bersama yang mengarah pada penggalian nilai spiritualitas dan religiusitas seyogyanya tak hanya dilakukan menjelang UN. Saya mengatakan demikian bukan berarti antidoa dan antiritual. Justru, berdoa merupakan hal yang mutlak setelah belajar. Nah, yang lebih penting lagi adalah menanamkan nilai spiritualitas pada anak didik sejak dini. Cara itu diyakini menjadikan anak terbiasa berdoa dan berzikir sejak belia. Efeknya adalah terjalinnya komunikasi sakral antara anak (manusia) dengan Tuhan.

Bukan Penentu Kelulusan

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) telah menyatakan bahwa nilai UN bukan penentu utama kelulusan. Namun, hingga hari ini ujian tersebut tetap menjadi hantu bagi sebagian besar siswa. Karenanya, sering dijumpai pelajar kelas VI (SD), kelas IX (SMP), dan kelas XII (SMA) mengalami tekanan psikologis lantaran khawatir tak lulus. Tindakan nekat pun acap mereka tempuh.

Kita tentu sependapat dengan Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh yang menegaskan bahwa UN merupakan bagian dari kehidupan yang mesti dihadapi. Tekanan psikis yang menimpa sebagian siswa tentu tak ada kaitannya dengan UN. Stres bukan hanya diakibatkan oleh UN. Dalam menghadapi hidup, kita juga sering mengalami stres. UN tak bisa dijadikan “kambing hitam" yang mengakibatkan peserta didik terganggu psikologinya.

Ke depan, pemerintah--dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional--harus selalu mengevaluasi kebijakan terkait UN, sehingga tercipta rumusan inovatif bagi generasi penerus bangsa. Tugas negara adalah menyediakan fasilitas dan melapangkan jalan bagi anak supaya dapat bertumbuh dan berkembang menjadi generasi bangsa yang luar biasa untuk masa depannya. Wali murid juga termotivasi memberikan perhatian kepada anak dengan mendorongnya lebih rajin belajar dan berdoa demi memperoleh ilmu yang bermanfaat. Harapan kita, doa bersama menjelang UN tak hanya berhenti sebatas ritual. Selamat menempuh Ujian Nasional.

*Terbit Harian Umum Jurnal Nasional, http://nasional.jurnas.com/halaman/6/2011-04-23%2F167262, Sabtu, 23 April 2011

**Peneliti Sosial, Politik dan Budaya, Ciganjur Centre, Jakarta



0 komentar:

Posting Komentar