Rabu, 27 April 2011

Membaca Pesan Psikologis Teror* Oleh Dedik Priyanto**

Untuk pertama kalinya, aksi teror bom bunuh diri menyasar institusi Polri. Tepatnya, aksi ini dilakukan di lingkungan masjid Mapolresta Cirebon, 15 April lalu di saat para jamaah akan melaksanakan ritual salat Jumat. Pertanyaannya, apa makna di balik serangan ini?

Jika mau sedikit menelisik, teror ini seakan menggambarkan realitas bahwa tingkat keamanan di dalam negeri begitu meresahkan. Betapa tidak, dalam sebuah institusi harusnya tingkat pengamanannya tinggi. Apalagi, yang menjadi sasaran adalah kepolisian, yang notabene adalah gudangnya pengendali keamanan. Namun, apa lacur, semua itu tidak berdaya, dikalahkan oleh teroris yang membonceng kelengahan mereka ketika salat Jumat.

Adalah Gus Dur, yang sudah lama mewanti-wanti akan datangnya prioritas penanganan terorisme. Jika hal ini terus saja dibiarkan, maka sudah pasti akan semakin menebalkan zona penyerangan-penyerangan lain yang akan diintrodusir oleh para pengacau yang tidak menginginkan adanya perdamaian di negeri ini. Begitu halnya dengan teror, tindakan tegas secara hukum harus dilakukan. Perlu kiranya untuk mendedah aktor intelektual yang menjadi dalang, serta ideolog yang menjadi generator dalam gerakan-gerakan yang mengakibatkan teror yang kian meresahkan.

Dalam esainya "Terorisme Harus Dilawan (2002)", Bapak Pluralisme ini memaparkan realitas terorisme yang merebak selepas teror Bom Bali. Bukti yang paling kentara adalah ketidaksigapan pemerintah dalam menerjang teror sebagai salah satu agenda terpenting dalam pemerintahan. Bagi Gus Dur, kita masih menganut kebijakan-kebijakan punitif dan kurang memberikan perhatian pada tindakan-tindakan preventif.

Laiknya wabah ulat bulu yang cepat menyebar tanpa bisa dibendung, maka sudah selayaknya pola kebijakan preventif ini menjadi alur dalam meretas segala kekagetan, yang terjadi dalam tubuh masyarakat akibat ulah para teroris. Kerap kali proses demikian diacuhkan, dan bertindak karena adanya pemantik sebuah peristiwa yang sudah berbentuk destruktif.

Senada dengan Gus Dur, menurut Prof Franz Magnis Suseno, ada dua faktor penting yang menjadi latar budaya kekerasan dan teror yang ada di Indonesia. Pertama, transformasi di dalam masyarakat atau pengaruh globalisasi dan modernisasi. Hal ini dapat dilihat sebagai bentuk polarisasi modernitas dalam bentuknya yang tidak hanya diskursif. Melainkan, proses konfigurasi kekinian kala membaca dunia tidak lagi sebagai percaturan dan pertemuan ide an sich.

Kedua, akumulasi kebencian dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena pemerintah yang dianggap sebagai aparatur penegak damai mengalami disfungsi dalam bentuknya yang konkret. Yakni, ketidak-sanggupan melindungi kenyamanan dalam bernegara akibat teror ini. Padahal secara historis, bangsa ini adalah kesatuan besar yang tidak mudah diluruhkan oleh isu-isu kecil yang harusnya menjadi riak di antara buih lautan yang luas. Kekuatan dalam merapal beda sudah menjadi kenyataan sejarah yang mengakar. Buahnya adalah penerimaan secara hakiki konsep Pancasila dan negara yang mengapresiasi segenap kekayaan dan kemajemukan yang ada.

Dalam kajian psikologis, peristiwa teror bukanlah sesuatu yang irasional. Melainkan, sangat rasional. Demikian bisa ditinjau dari pandangan paradigma kekalahan, atau perjuangan yang tidak terapresiasi oleh pemangku kebijakan. Hal inilah yang menjadikan faktor lawan-kawan menjadi penting dan rasional tatkala melihat paradigma berpikir para teroris. Maka dari itu, seringkali kita melihat rintihan dan teriakan para teroris sebagai saduran dari realitas yang mereka jalani saat masa ideologisasi.

Begitu halnya yang tampak pada kasus teror-teror di Indonesia. Mereka sering menisbahkan pada renteten keagamaan sebagai instrumen fundamental dalam menera teror. Sedangkan teror sendiri bukanlah sesuatu yang terpatri dalam pribadi seseorang. Ia adalah instrumen untuk tujuan ideologis yang menjadi tapal gerakan. Seakan mencermati alur yang terjadi, ada dua hal fundamental yang menjadi pesan politis para teroris. Pertama, menyebar keresahan. Bagi para teroris, keberhasilan mereka menembus barikade pertahanan adalah sebuah capaian yang cukup menggembirakan.

Ibarat permainan sepakbola, mereka telah mampu mengobrak-abrik sistem pertahanan lawan yang terkenal dengan para bek mereka yang kuat. Tidak hanya itu, mereka mampu masuk langsung kepada sistem yang acapkali menjadi penghalang mereka saat melakukan tindakan. Sedang di sisi lainnya, para teroris ini seakan ingin memperciut peran polisi dalam penegakan hukum dan keamanan.

Bagi masyarakat umum, ini adalah pukulan telak, bahwa kini mereka tidak lagi bisa mengandalkan kepolisian. Proses penyebaran resah ini dilakukan guna memperlebar jarak antara dua entitas ini. Jika ini terjadi, maka para teroris akan semakin mudah untuk saling mengadu domba. Hingga dengan cekatan mereka mampu masuk ke dalam masyarakat, serta memaparkan pandangan yang reduksionis terhadap negara dan segala perniknya.

Pada titik ini, proses ideologisasi akan merasuk saat suasana kacau. Hingga penyerempetan ke arah paradigma 'kegagalan negara' menjadi bumbu paling empuk untuk mengadakan serangan atas penguasa. Hal ini menjadi sangat berbahaya, jika kedua elemen ini terpengaruh dengan teror psikologis untuk memecah kepercayaan yang sudah terbangun puluhan tahun pada negara. Apalagi, jika memakai terma agama sebagai landasan filosofis mereka dalam menebar landasan ideologis.

Seharusnya masyarakat tidak perlu resah dan takut menghadapi teror ini. Karena, inilah sebenarnya inti dari pesan teror yang dikirim. Buntutnya, adalah rangkaian teror yang akan terus berjalan jika keresahan ini terus melebar pada masyarakat. Yang perlu dirantai adalah sikap kita yang harus terus berhati-hati, dan selayaknya tidak menunjukkan sikap takut. Karena, hal ini akan menunjukkan jati diri sebagai bangsa yang besar.

Kedua, eksistensi kelompok. Kematian bagi kelompok teroris adalah berkah yang akan mengantarkan mereka menuju tujuan ideologis yang dianut dan bahkan surga seperti apa yang mereka pikirkan. Pun sebagai martir untuk mewartakan bahwa 'mereka' masih ada. seakan ingin menunjukkan bahwa proses perlawanan itu masih berlangsung selama tujuan ideologis mereka masih belum tercapai.

Namun, kedua hal di atas tidak akan berlaku jika masyarakat dan negara mampu saling bersinergi, serta bahu membahu dalam menindak para teroris. Jangan takut. Jika ini terjadi maka kita seakan membiarkan para teroris tertawa. Tindakan preventif lebih penting daripada selalu kebakaran jenggot ketika ada peristiwa.

*Opini Harian Nasional Suara Karya, 27 April 2011



0 komentar:

Posting Komentar