Masa bakti anggota Dewan Perwakilan Rakyat 2004-2009 tinggal lima bulan lagi, tapi banyak sekali kewajiban mereka yang belum ditunaikan. Tunggakan kewajiban paling mencolok adalah di bidang program legislasi nasional. Hingga kini parlemen baru menghasilkan undang-undang sekitar 55 persen dari target. Di tengah kesibukan menghadapi pemilihan presiden saat ini, mereka dituntut untuk tidak menelantarkan tugas konstitusionalnya, yakni membahas 45 persen rancangan undang-undang yang tersisa. Apalagi ada satu rancangan yang jika tidak diundangkan tahun ini berakibat fatal, yakni Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (RUU Tipikor).
Penting bagi parlemen untuk berusaha semaksimal mungkin menyelesaikan tunggakan tersebut. Jika ini dilakukan, tidak hanya akan sedikit memperbaiki citra anggota Dewan yang telanjur karut-marut itu, tapi juga menunjukkan bahwa para wakil rakyat mampu menempatkan tugas konstitusionalnya di atas panggilan partai.
Betapa kedodorannya parlemen sudah terlihat sejak awal. Pada tahun pertama (2004-2005), Dewan hanya mampu menghasilkan 10 undang-undang. Lalu, hanya 14 undang-undang pada tahun berikutnya (2005-2006). Setelah itu memang ada lonjakan tajam, namun tetap saja masih jauh di bawah target.
Ini sungguh memprihatinkan. Apalagi anggaran untuk parlemen demikian besar. Total anggaran DPR periode 2004-2009 sebesar Rp 6,54 triliun. Sungguh mengenaskan, dengan anggaran sebesar itu, hasil kerja parlemen, terutama dalam proses legislasi, ternyata tak sepadan.
Dengan setting semacam itulah parlemen kini harus menuntaskan 127 rancangan undang-undang yang tertunggak sebelum mereka lengser pada 30 September nanti. Tampaknya mustahil Dewan akan mampu menuntaskan pekerjaannya dalam waktu yang tersisa. Belakangan, Dewan memang bersikap realistis, yakni hanya mentargetkan menuntaskan pembahasan 23 rancangan. Di antara yang akan dibahas itu adalah RUU Tipikor, RUU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta RUU Pemekaran Wilayah.
Kegagalan mengundangkan rancangan ini sebelum 19 Desember (tenggat yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi) berimplikasi pada pembubaran Pengadilan Korupsi.
Sungguh ironis bila ini terjadi, karena pengadilan khusus korupsi terbukti efektif dibanding pengadilan umum.
Tak banyak peluang bagi parlemen untuk mengakhiri masa baktinya dengan manis. Namun, jika mereka bisa mengundangkan RUU Tipikor (dan beberapa rancangan lain), publik rasanya masih memiliki sedikit cadangan respek untuk mereka.
0 komentar:
Posting Komentar