Kamis, 23 April 2009

PENGELOLAAN UTANG INDONESIA

''Sebenarnya beban utang pemerintah saat ini cukup membahayakan enggak sih? Kok pernyataan para pejabat selalu beda-beda," demikian yang selalu menjadi pertanyaan kita. Memang, masyarakat sekarang dibuat bingung dengan berbagai pernyataan pemerintah dan anggota dewan yang sering gak nyambung.

Dalam berbagai kesempatan, Presiden SBY selalu menegaskan bahwa Indonesia harus segera mengurangi ketergantungan terhadap utang dan bantuan luar negeri, karena akan membebani masa depan Indonesia. Bila pengurangan ketergantungan utang menjadi salah satu visi penting, semestinya pembiayaan pembangunan dalam pemerintahan SBY akan semakin menjauh dari utang.

Namun, faktanya, selama empat tahun masa Presiden SBY, jumlah stok utang pemerintah justru mengalami peningkatan yang luar biasa. Pada tahun 2009, bahkan stok utang mencapai level tertinggi sepanjang sejarah. Bila pada tahun 2005 total utang pemerintah hanya sebesar Rp 1.268 trilyun, maka pada awal tahun 2009 telah membengkak menjadi Rp 1.666 trilyun. Artinya, ada peningkatan stok utang sebesar Rp 398 trilyun atau naik 31%. Bila ternyata tambahan utang baru pada era pemerintahan SBY sangat besar, lalu apa maksud iklan salah satu partai pendukung pemerintah bahwa pemerintahan SBY berhasil mengurangi utang?

Indikator Semu

Dengan jumlah stok utang yang sudah amat sangat besar tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun dengan tegas menyatakan utang Indonesia masih aman. Padahal dengan stok utang yang demikian besar telah menggerus belanja APBN. Pada tahun 2004, jumlah bunga utang yang harus dibayar masih sebesar Rp 62,5 trilyun. Namun pada tahun 2008 mencapai Rp 88,62 trilyun. Bahkan di tahun 2009 melampaui Rp 100 trilyun.

Beban pembayaran utang ini pun akan semakin membengkak bila pokok utang diperhitungkan. Untuk tahun 2009 ini pembayaran pokok utang dan bunga utang diperkirakan hampir mencapai Rp 162 trilyun. Angka tersebut tentu saja tidak kecil, karena merupakan belanja pemerintah terbesar. Jauh lebih besar dibandingkan dengan anggaran belanja pembangunan atau belanja modal yang hanya sebesar Rp 71,9 trilyun.

Namun, mengapa Menteri Keuangan masih tetap tidak menganggap utang telah membebani keuangan negara? Tentu saja ini dapat terjadi karena indikator-indikator yang dijadikan sebagai tolok ukur hanya indikator yang mendukung Indonesia masih aman dan layak untuk mendapatkan tambahan utang. Tidak mengherankan, meskipun stok utang meningkat tajam, utang masih dikategorikan "aman" karena rasio utang terhadap PDB dianggap terus menurun dari 46% (2004) menjadi 33% (2008). Meski demikian, pengukuran beban utang tidak bisa hanya diukur dari rasio tersebut.

Bila digunakan indikator-indikator lainnya, maka kesimpulan bahwa utang Indonesia ada pada posisi "aman" sangat patut dipertanyakan. Salah satu indikator yang dapat digunakan adalah kemampuan pemerintah dalam menyediakan cadangan devisa. Apabila ekspor terus menurun akibat daya saing, maka kemampuan untuk menyediakan cadangan devisa yang diperlukan untuk membayar cicilan utang menjadi berkurang.

Apalagi kita tahu bahwa dalam beberapa tahun terakhir cadangan devisa Indonesia lebih banyak di sokong oleh kenaikan komoditas primer di pasar internasional dan masuknya gelombang hot money.

Bila ekspor Indonesia tidak didukung oleh pertumbuhan produktivitas dan daya saing, sementara beban pembayaran utang semakin besar, maka tidak dapat kita katakan bahwa langkah untuk terus menambah utang akan cukup aman. Fakta bahwa utang jangka pendek menjadi sumber cadangan devisa ditunjukkan dengan peningkatan porsinya yang semakin besar.

Sejak 2006, utang jangka pendek meningkat lebih dari 40%, yakni dari US$ 16,5 milyar (2006) menjadi US$ 23,21 milyar (2007). Peningkatan porsi utang jangka pendek yang cukup besar ini menunjukkan tingkat "bahaya" dari utang pemerintah karena bila terjadi pembalikan (sudden reversal) akan menekan nilai tukar rupiah serta indikator-indikator lainnya.

Utang Tidak Produktif dan Mahal

Beban pinjaman luar negeri ternyata tidak hanya terjadi pada saat utang tersebut telah dicairkan. Tetapi bahkan dimulai sejak pemerintah committed terhadap sebuah perjanjian utang. Dalam setiap perjanjian utang, pemerintah diwajibkan membayar commitment fee, asuransi, dan bunga segera setelah pinjaman tersebut dicairkan oleh negera peminjam.

Di samping itu, setiap membuat komitmen utang untuk pembiayaan suatu proyek, pemerintah wajib menyediakan dana dalam APBN yang disebut dana pendamping. Semakin banyak kegiatan pembangunan yang didanai dengan utang, terutama utang luar negeri, semakin banyak pula dana APBN yang dialokasikan sebagai pendamping.

Sayangnya, meski banyak biaya yang telah dibayarkan untuk mendapatkan pembiayaan utang, proyek yang didanai belum tentu bisa jalan. Untuk dana pendamping, misalnya, seringkali pemerintah telah membayar hingga tiga perempat namun proyek belum berjalan. Mungkin karena persiapan administrasinya, rusak karena bencana, mungkin juga karena dikorup, atau karena sebab lain yang mengakibatkan utang tidak dinikmati oleh masyarakat.

Utang-utang seperti inilah yang dapat dikategorikan sebagai utang najis. Untuk kasus-kasus seperti ini, semestinya pemerintah dapat melakukan renegosiasi untuk tidak dibayarkan. Bahkan saat ini PBB telah memberikan jalan untuk melakukan penghapusan bagi illegitimate debt.

Faktor lain yang mengakibatkan mahalnya pembiayaan dengan utang adalah jenis utang. Dalam beberapa tahun terakhir, untuk menutup defisit, pemerintah lebih memilih mencari penjaman komersial yang nyata-nyata berbunga tinggi makin besar. Pada tahun ini, pemerintah bahkan menerbitkan global medium terms note (GMTN) yang relatif mahal. Untuk surat utang berjangka waktu 10 tahun yang akan jatuh tempo Maret 2019, yield yang diberikan sebesar 11,75%. Imbal hasil ini tentu sangat tinggi dibandingkan dengan obligasi Pemerintah Amerika Serikat, yang hanya sebesar 3%, serta negara-negara maju lainnya.

Harus Dikoreksi
Beban biaya atas utang ternyata sangat besar dan berisiko. Karena itu, sudah saatnya pemerintah segera melakukan koreksi terhadap berbagai utang. Apalagi jumlah komitmen utang Indonesia sudah sangat banyak dengan value yang sangat besar. Dimulai sejak awal 1960-an hingga akhir Juni 2008, pemerintah telah menandatangani 4.484 perjanjian pinjaman dengan kreditor. Sedangkan total nilai pinjaman luar negeri bruto yang telah ditandatangani mencapai US$ 213,531 milyar.

Namun, banyak utang yang telah disepakati ternyata tidak didukung dengan prinsip akuntabilitas, tertib administrasi, serta tidak jarang transaksi dilakukan secara tidak wajar. Tidak mengherankan bila BPK menemukan sekitar 500 surat perjanjian utang hilang akibat pengarsipan yang belum tertib.

Di samping itu, banyak temuan BPK yang mengindikasikan besarnya kerugian negara dalam pengelolaan utang luar negeri. Sebagai contoh, pelaksanaan 25 proyek yang didanai pinjaman luar negeri terlambat dilaksanakan. Akibatnya, negara dibebani Rp 2,02 trilyun sebagai denda keterlambatan pelaksanaan proyek. Kasus lain adalah adanya 61 rekening khusus dengan saldo Rp 74,34 milyar yang belum ditutup, walaupun tanggal penutupan peminjaman telah lewat. Sehingga pemerintah harus menanggung beban bunga atas sisa dana di rekening tersebut walaupun tidak dimanfaatkan.

Terlalu banyak masalah dan beban yang ditimbulkan dari pembiayaan pembangunan lewat utang. Sudah saatnya bagi Indonesia, siapa pun pemimpin 2009, untuk melakukan koreksi terhadap berbagai beban utang. Jangan sampai karena buruknya pengelolaan utang, Indonesia akhirnya benar-benar menjadi good boy yang bahkan tidak pernah tahu dan tidak tahu berapa semestinya negara harus membayar cicilan utang. Jangan sampai Bank Indonesia hanya menjadi kasir yang harus membayar berapa pun tagihan dari para kreditor.

Satu syarat yang harus dilakukan dalam melakukan penataan ini adalah mengubah paradigma para pemimpin, baik di legislatif maupun eksekutif. Tanpa perubahan paradigma, tidak akan ada yang dilakukan oleh para pemimpin baru 2009. Tidak hanya kabinet, Indonesia memerlukan juga anggota dewan yang berani melakukan koeksi mendasar atas paradigma pembiayaan pembangunan berbasis utang.

Partai dan caleg dalam kampanye seringkali menyatakan menolak penarikan utang-utang baru, tapi fakta menunjukkan, selama ini tidak pernah melakukan upaya sungguh-sungguh untuk menekan defisit. Buktinya, hampir semua pengajuan utang oleh pemerintah untuk pembiayaan defisit selalu didukung dewan. Akhirnya, selama empat tahun dewan membiarkan defisit APBN terus membengkak tanpa ada kebijakan untuk memaksa pemerintah mengurangi utang.

Harus ada langkah kongkret DPR untuk menyiapkan peraturan perundang-undangan yang dapat memaksa pemerintah mencari alternatif pembiayaan selain utang. Bahkan, selama hiruk-pikuk kampanye, hampir tidak ada satu partai pun yang mengangkat isu utang serta tawaran solusinya.

Oleh: Niam, Yanti & Sofwan
Mahasiswa Fakultas Ekonomi UIN Syarif Hidayatullah JKT, angkt'06


1 komentar:

Habib Asfiya Jauhari mengatakan...

itu adalah konsekuensi bahwa kita memberlakukan kebijakan anggaran defisit. anggaran defisit ini untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi makro kita. untuk itu, kita dihadapkan 2 pilihan, yaitu utang atau menjual aset. akhir2 ini kita sering mendengar obligasi, sukuk, ori dan sejenisnya sebagai alternatif pembiayaan defisit, tetapi, tetap saja substansinya adalah utang. untuk memenej utang ini, kementerian keuangan telah membentuk Dirjen Pengelolaan Utang, yang semoga dapat memberdayakan utang sebagaimana mestinya.
mungkin, untuk meniadakan utang sama sekali, mau tidak mau harus memilih alternatif kedua, yaitu menjual aset, atau kita mengganti kebijakan anggaran, menjadi anggaran berimbang ataupun surplus. tetapi sebagai konsekuensinya (menurut textbook makroekonomi) pemerintah tidak akan dapat memberikan andil dalam pertumbuhan ekonomi, dan ekonomi akan meluncur pada rel pasar dan memungkinkan liberalisme ekonomi di Indonesia.

disamping itu semua, kita masih mempunyai potensi pajak yang besar,
jadi, MARI MEMBAYAR PAJAK.......

Posting Komentar