Oleh Ali Rif'an
Harus
diakui, teknologi saat ini dipandang sebagai sesuatu yang mendukung
hidup manusia. Hampir semua aspek kehidupan manusia dibantu dan
dipermudah dengan bantuan teknologi. Bahkan dalam skala yang lebih
fundamental, teknologi semacam telekomunikasi sekarang ini sudah menjadi
kebutuhan primer manusia setelah pangan, sandang, dan papan.
Tak
pelak jika Marshall McLuhan (1967)—yang disebut-sebut sebagai Bapak
Komunikasi—menyebut teknologi adalah fitrah manusia. Fungsi teknologi
sebagai kendaraan berpikir dan kerja manusia menuju perpanjangan tahap
selanjutnya, yakni perpanjangan dari badan dalam ruang menuju
perpanjangan sistem saraf. Sebut saja komputer, misalnya, yang bekerja
dengan bilangan biner adalah perpanjangan akal manusia yang berpikir
dialektis. Begitu halnya roda yang berputar merupakan perpanjangan kaki
manusia yang berjalan. Sementara teknologi seperti SMS, telepon dan chatting tak banyak beda dengan tegur sapa biasa.
Kini, antara telekomunikasi, teknologi informasi, dan penyiaran (broadcasting)
sudah ibarat setali dua mata uang yang saling berkelindan. Tiga piranti
ini saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya.
Teknologi informasi, misalnya, telah menggabungkan sifat-sifat
telekomunikasi yang bersifat masif dengan teknologi komputer yang
bersifat interaktif. Fenomena inilah yang kemudian dikenal dengan
istilah konvergensi.
Dalam bentuk yang utuh, konvergensi
ini menghasilkan apa yang disebut digitalisasi. Digitalisasilah yang
menjawab kemudahan atas layanan telekomunikasi, teknologi informasi, dan
penyiaran sekaligus menggantikan teknologi analog. Sebagai dampaknya,
maka sekarang ini, kehidupan terasa lebih mudah dan praktis. Betapa
tidak, hanya dengan bermodal komputer atau telepon seluler, kita sudah
dapat menerima suara, tulisan, data maupun gambar tiga dimensi (3G).
Digitalisasi dan Indonesia
Menurut
catatan Asosiasi Telepon Seluler Indonesia (ATSI), saat ini, sekitar
180 juta penduduk Indonesia sudah menjadi pelanggan layanan seluler [i].
Ini artinya, sekitar 60 persen populasi penduduk di Tanah Air sudah
memiliki perangkat telekomunikasi. Bahkan menurut prediksi InMobi,
sebuah perusahaan yang bergerak di bidang Mobile Ads Network, pengguna
ponsel di Indonesia akan melesat dan membawa Indonesia ke peringkat 3
negara dengan pengguna ponsel terbanyak di bawah China dan India [ii].
Dengan
jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 259.940.857 juta jiwa dan
terdistribusi pada wilayah seluas 220.953.634 (km²), dengan jumlah
wilayah administratif 349 kabupaten, 91 kota, 5.263 kecamatan, 7.113
kelurahan, dan 62.806 desa di seluruh Indonesia, maka era konvergensi
ilmu teknologi dan telekomunikasi yang berwujud digitalisasi menjadi
babak baru bagi perubahan Indonesia ke depan. Kenapa demikian? Dalam
konvergensi, terdapat 6 muara dalam satu bentuk. Konvergensi dalam
bahasa Inggris convergence, yakni “to coce together, to meet or join, to approach from different directions. Aktivitas membaca, mendengar, perjalanan, bekerja, melihat, dan berbicara dapat dilakukan secara bersama-sama.
Sering
dikatakan, bangsa yang besar adalah bangsa yang pandai dan gemar
membaca. Karena harus diakui, menggeliatnya persoalan kebangsaan yang
melanda negeri ini, pada dasarnya tidak lepas dari minimnya pembacaan
fenomena yang terjadi pada realitas sosial. Runtuhnya suatu peradaban
juga tidak semata disebabkan oleh masalah politik dan kekuasaan. Yang
paling utama adalah hilangnya élan vital dalam membaca.
Oleh
karenanya, tanpa mengesampingkan pentingnya elemen pemerintah sebagai
pemangku kepentingan nasional, konvergensi ilmu teknologi dan
telekomunikasi yang menghasilkan produk digitalisasi semacam internet
patut dicatat sebagai babak penting dalam mewujudkan pembangunan
nasional. Alasan pertama, digitalisasi seperti internet akan membuka
sekat-sekat atau kebuntuan akan akses informasi yang lambat dan stagnan
menuju akses yang lebih dinamis, terbuka tanpa mengenal waktu dan jarak.
Coba bayangkan, sekarang ini, melalui jejaring facebook dan twitter, orang
bisa menyapa dan berteman dengan siapa saja. Menurut pengamatan saya
terhadap beberapa rekan muda, mereka yang akrab dengan internet,
misalnya, cenderung memiliki pengetahuan yang luas dan wawasan yang update
ketimbang mereka yang jarang atau sama sekali tidak bergumul dengan
dunia maya. Betapa tidak, melalui “Mbah Google”, tinggal klik, dalam
hitungan detik mereka bisa mendapatkan informasi dengan cepat-kilat.
Bahkan
yang lebih menggelikan. Untuk urusan percintaan, ruang virtual juga
memiliki peran penting. Baru-baru ini saya sempat menghadiri pernikahan
teman satu organisasi yang, kabarnya, calon istrinya itu didapat melalui
chatting di dunia maya. Dua minggu setelah kenal langsung
menikah. Saya kemudiaan berkesimpulan bahwa digitalisasi telah mampu
mempercepat segala aspek kehidupan, termasuk sesuatu yang bersifat
sakral sekalipun.
Alasan kedua adalah ihwal pengguna
internet di Indonesia yang jumlahnya sangat fantastis. Jika pengguna
telepon seluler sudah mencapai 60 persen dari jumlah penduduk Indonesia,
Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebutkan pengguna internet di
Indonesia saat ini mencapai sekitar 45 juta [iii]. Dari data ini
sesungguhnya kita bisa berasumsi sekaligus melempar pertanyaan, dari
manakah pembangunan Indonesia bisa dengan cepat digerakkan? Saya
memiliki asumsi kuat: dengan digitalisasi. Karena harus diakui, dalam
sejarah peradaban manusia, revolusi di bidang teknologi selalu berdampak
pada revolusi di bidang kehidupan yang luas. Kemajuan teknologi pun
selalu dikaitkan dengan kemajuan negara-bangsa.
Demokrasi Digital
Dengan
seribu satu persoalan yang merentang dari Sabang sampai Merauke. Dengan
dan melalui digitalisasi, Indonesia sebenarnya mampu berbenah diri.
Kenapa? Barry N. Hague dalam pengantar buku Antologi Diskursus Demokrasi Elektronik
(1999) menyebutkan bahwa di dalam digitalisasi mengandung unsur-unsur
demokrasi. Jika demokrasi dimaknai dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat, maka digitalisasi memiliki makna tak jauh beda. Di antara sifat
digital adalah interaktif dan komunikatif.
Dengan dan
lewat demokrasi digital, ekspresi dan aspirasi kita mendapatkan ruang.
Setiap dari kita, misalnya, bisa dengan diskursif mengetengahkan
gagasan-gagasan konstruktif atau yang paling gila sekalipun. Kita bisa
membentuk komunitas virtual yang peduli dengan kepentingan publik dan
komunikasi global yang tidak terbatas pada satu negara-bangsa. Lewat
demokrasi digital pula informasi kajian sosial-politik dapat diproduksi
secara bebas dan disebar ke ruang virtual untuk diuji. Diskursus
sepenuhnya termanifestasikan secara bebas dalam demokrasi digital
melalui newsgroup, milis, surat elektronik, live discussion, blog, website dan jejaring sosial seperti facebook, twitter, dan seterusnya.
Memang,
demokrasi digital juga tidaklah miskin masalah. Ia ibarat pedang
bermata dua, di satu sisi sangat membantu kemajuan peradaban, tapi di
sisi lain juga bisa menjadi pemicu retaknya peradaban. Sebagai contoh
barangkali adalah kasus WikiLeaks. Jagad politik dunia beberepa waktu
lalu dirisaukan oleh bocornnya kawat diplomatik WikiLeaks [iv]. Situs
yang didirikan oleh Julian Paul Assange ini telah membocorkan segala
dinamika dan rahasia dunia. Dunia geger dan kekhawatiran pun terjadi.
Selain
WikiLeaks, kasus lain yang menghebohkan jagad Indonesia beberapa waktu
lalu adalah skandal Ariel-Luna dan Cut Tari. Tentu saja, terbongkarnya
video syur beberapa waktu itu tak lepas dari pengaruh adanya demokrasi
digital. Disinilah seorang teman berkata kepada saya, “Kemajuan
teknologi juga berdampak pada kemajuaan porno aksi, Bung!”
Perkataan
teman saya itu sepintas bisa dibenarkan. Tetapi perlu diketahui, apapun
dampak negatif teknologi dan betapapun canggihnya, ia hanyalah sebuah
alat. Ia tidak akan berfungsi dan memiliki dampak apapun jika tidak
difungsi-gunakan. Karenanya, saya kemudian menimpali, “Jika teknologi
membawa dampak negatif, yang patut disalahkan bukanlah teknologinya,
melainkan penggunanya. Teknologi adalah fitrah manusia, Bung!” begitu
kataku menimpali.
Pragmatisme Digital
Selain
mengandung unsur demokrasi, digitalisasi juga sarat dengan unsur
pragmatisme. Era kovergensi telah membuka jaringan komunikasi dan
telekomunikasi dengan sangat luas dan lebar. Digitalisasi telah mampu
menghilangkan sekat dalam berinteraksi dan berkomunikasi. Jika ini
dipandang secara positif-konstruktif serta optimis, sesungguhnya setiap
dari kita akan mampu membuka wacana dan sekat informasi yang kemudian
bisa digunakan untuk melihat peluang, sehingga memudahkan eksplorasi
berbagai bidang yang dapat mensinergiskan proses pembangunan nasional.
Paling kurang ada empat bidang yang bisa kita sinergikan dalam upaya mewujudkan pembangunan nasional. Pertama,
bidang pendidikan. Dari survei yang ada, 30 % pengguna internet adalah
kalangan pendidikan. Karenanya, manfaat paling menonjol adanya
digitalisasi ini tentu di bidang penididikan. Melalui bidang inilah
nantinya akan menyebar ke bidang-bidang lain. Para pelajar dan mahasiswa
sekarang dapat dengan mudah mencari literatur, artikel atau informasi
terkait tugas kuliah ataupun penelitian, baik itu di dalam negeri maupun
di luar negeri.
Pada titik ini, mereka akan semakin
terbuka lebar khazanah, wawasan, dan cakrawalanya. Dengan semakin banyak
wawasan yang dimiliki, semakin mudah dan bijak pula mereka dalam
menyelesaikan segala persoalan kehidupan. Individu yang matang dan
berkualitas akan sangat membatu dalam upaya mensukseskan pembangunan
nasional.
Kedua, bidang ekonomi. Jika kita
melihat dari kacamata geografis, Indonesia adalah negara kepulauan yang
terbentang dari ujung Pulau Sumatera hingga timur Pulau Papua.
Aktivitas perekonomian Indonesia dipisahkan oleh lautan. Karenanya,
perpindahan barang, jasa dan manusia tentu menjadi mahal. Adanya
digitalisasi tentu akan meminimalisasi biaya transaksi dan transportasi.
Sekarang para kontaktor atau pebisnis, tak usah bercapek-capek
menyeberang lautan jika hendak melakukan transaksi. Cukup pegang telepon
seluler atau buka laptop yang ada saluran internetnya, transaksi bisa
berjalan dengan mulus.
Cerita di bawah ini barangkali
menarik untuk disimak. Dua bulan yang lalu saya berkunjung ke salah satu
dosen yang ada di Ciputat. Sebut saja namanya Pak Arul. Ia adalah
seorang dosen swasta yang sehari-hari kerjanya hanya mengajar. Tetapi
yang membuat saya terkejut, ia memiliki omset sekitar 10-20 juta per
bulan. Ketika saya tanya dan selidiki, ternyata ia memanfaatkan ruang
virtual untuk berbisnis. “Modalnya sederhana. Yang terpenting bisa
membaca peluang,” begitu katanya.
Fenomena Pak Arul ini
tak jauh beda dengan teman kuliah saya, anak semester 3 tetapi sudah
memiliki omset sekitar 5-10 juta per bulan. Ketika saya cari-cari tahu
apa pekerjaannya, ternnyata ia juga melakukan bisnis online. “Jadi
mahasiswa itu harus kreatif!” begitu ia berkata kepada saya. Dua
realitas di atas hanyalah bagian kecil dari gunung es ihwal kesuksesan
bisnis online—bisnis yang didukung dengan kemajuan digitalisasi—yang ada
di negeri ini.
Ketiga, bidang sosial dan budaya.
Dengan adanya digitalisasi semacam telepon seluler, masyarakat sekarang
lebih mudah melakukan komunikasi-komunikasi intens tanpa mengenal sekat
dan waktu. Komunikasi ini bisa bersifat vertikal-horizontal. Dulu
sebelum adanya telepon seluler, masyarakat kecil susah sekali untuk
mengadu kepada kepala desa (kades) ihwal dinamika di pedesaan atau
terkait layanan publik.
Sekarang, hadirnya digitalisasi,
seorang petani singkong pun bisa bersapa ria dengan anggota dewan
melalui jejaring sosial seperti Twitter ataupun Facebook.
Mereka bisa langsung mengadu kepada para wakilnya di Senayan tentang
segala keluh kesah yang mereka alami. Di sinilah mengapa digitalisasi
sering disebut-sebut sebagai wahana ampuh dalam upaya menihilkan
kesenjangan sosial.
Dalam konteks budaya, digitalisasi
telah mampu melalukan penyebaran dan pengembangan seni nasioanl secara
masif. Sekarang ini, seni nyanyian, tarian, atau kerajinan batik khas
Indonesia semakin marak menyebar ke seluruh penjuru dunia. Bahkan saking
maraknya, seni tari dan nyanyian kita pernah dicaplok negeri tetangga,
Malaysia. Perdebatan terjadi dan polemik pun memanas. Padahal, jika
publik Indonesia mau memakai kacamata lebih bening, pencaplokan budaya
kita itu justru mencerminkan hegemoni budaya Indonesia atas negeri
Malaysia.
Keempat, bidang politik dan hukum.
Digitalisasi telah menjadikan pemerintah lebih mudah dalam
mensosialisasikan segala kebijakan dan aspek-aspek politik dan hukum
kepada masyarakat publik. Sebagai dampaknya, masyarakat sekarang kian
melek politik dan sadar akan hukum. Kesadaran inilah yang nantinya kan
mampu meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap aturan-aturan yang
ada, sehingga tercipta keteraturan nasioanl. Dalam konteks yang lebih
luas, demokrasi akan semakin tumbuh subur.
Sekarang,
masyarakat dapat dengan mudah mengontrol kinerja pemerintah. Segala
aspirasi pun dengan mudah disampaikan. Tata kelola pemerintahan yang
terbuka, transparan dan demokratis inilah yang pada gilirannya akan
mencipta pembangunan nasional yang komprehensif.
Mewujudkan Visi Indonesia 2020
Tahun
2020 digadang-gadang sebagai tahun untuk mewujudkan visi masyarakat
Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil,
sejahtera, maju, serta baik dan bersih dalam penyelenggaraan negara.
Karena itu, adanya digitalisasi akan terasa memliki peluang besar untuk
menjawab segala tantangan tersebut.
Menilik betapa penting
dan besar manfaat dan pengaruh digitalisasi, jika disinergikan terhadap
pembangunan nasional akan berdampak cepat. Tentu untuk mewujudkan hal
itu tidak bisa dilakukan secara personal-individual. Harus ada kesadaran
kolektif dari segenap elemen bangsa. Seperti halnya operator selular
yang telah mempersembahkan karya-karya terbaik bagi pelanggan
(masyarakat), pemerintah dan pihak swasta pun tak boleh ketinggalan.
Dengan
sarana digitalisasi, gerakan pemerintah akan terasa lebih cepat dan
lempang. Paling tidak, empat bidang di atas—bidang pendidikan, ekonomi,
sosial-budaya, politik-hukum—jika disinergikan dengan pengaruh positif
digitalisasi akan memiliki dampak yang baik terhadap perkembangan
masyarakat akar rumput (grassroot). Tentu digitalisasi ini bukanlah segalanya, namun patut dimasukkan ke dalam kategori penting pembangunan Indonesia hari esok!
* Juara I Lomba Esai Mahasiswa Nasional
Catatan Kaki
[i] http://www.harianberita.com/jumlah-pemakai-handphone-di-indonesia.html
[ii]http://www.tabloid-ponsel.com-183-146-juta-penduduk-indonesia-memakai-ponsel.html
[iii]http://www.detikinet.com/read/2010/06/09/121652/1374756/398/pengguna-internet-indonesia-capai-45-juta
[iv] Kompas, 13 Desember 2010
Selengkapnya...