Minggu, 08 Januari 2012

Runtuhnya Citra Politikus*

Oleh Ali Rif'an**

Citra politisi Indonesia kini berada di titik terendah. Jejak pendapat Lingkaran Survei Indonesia (LSI) baru-baru ini menyebutkan, tingkat kepuasan publik atas politisi menurun sebesar 21 persen. Dari 44,2 persen pada September 2005 lalu, kini menjadi 23,4 persen pada September 2011.

Runtuhnya citra politisi ini disebabkan maraknya kasus korupsi yang melibatkan para politisi, baik di eksekutif maupun di legislatif. Jika ditaksir, fenomena korupsi yang masif saat ini telah menyedot setidaknya 30 persen hingga 40 persen dana anggaran negara. Bayangkan saja, sekarang ini terdapat 125 kepala daerah dan mantan kepala daerah yang tersandung kasus korupsi. Ini belum termasuk anggota dewan. Karena itu, bisa dikatakan, korupsi saat ini menjadi catatan terburuk di sepanjang sejarah Indonesia.

Paling tidak terdapat empat faktor yang membuat citra politisi semakin runtuh. Pertama, semakin rendahnya etika politik para politisi. Sekarang, krisis moral yang telah menjangkit bangsa Indonesia juga telah menjangkit para politisi. Banyaknya para politisi yang kesandung skandal porno, perselingkuhan, serta rendahnya etika berbicara di depan publik telah membuat posisi politisi tak ubahnya para preman. Padahal, jabatan politisi atau anggota dewan merupakan jabatan yang terhormat. Mereka adalah representasi dari sosok yang seharusnya ditiru masyarakat.

Kedua, buruknya rekrutmen partai politik. Sebagai pilar demokrasi, partai politik diyakini sebagai pilar terpenting yang berfungsi mengawal perjalanan demokrasi menuju amanat yang dicita-citakan. Seperti diungkapkan Ramlan Subakti (1992), partai politik berfungsi mengatasi kebuntuan partisipasi dan interrasi di masyarakat. Partai politik dibentuk atas dasar kebutuhan terhadap perubahan modernisasi sosial dan ekonomi. Nanum celakanya, sekarang ini tidak ada partai politik yang mendapat kepercayaan dari publik. Partai politik tidak lebih sebagai bunker korupsi.

Ketiga, rendahnya komitmen para politisi. Sebagai wakil rakyat atau pejabat negara, komitmen yang harus mereka pegang adalah misi menyejahterakan rakyat dan salah satu caranya dengan mensukseskan misi pemberantasan korupsi. Tetapi akhir-akhir ini santer terdengar, para politisi, kususnya anggota dewan sering berseloroh ingin membubarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebut saja ide pembubaran KPK yang digelindingkan angota Komisi III DPR dari Fraksi PKS Fachri Hamzah yang sebelumnya juga pernah digelinding Ketua DPR Marzuki Alie. Kondisi ini tentu saja membuat masyarakat semakin jengkel. Seolah para politisi tidak pro dengan misi pemberantasan korupsi.

Keempat, maraknya korupsi yang mendera politisi. Ketatnya persaingan politik telah membuat wakil rakyat dan kepala daerah mencari pundi-pundi uang sebanyak-banyaknya untuk ganti rugi ongkos politik. Coba bayangkan, untuk menjadi seorang gubernur saja, konon, dibutuhkan dana minimal Rp 45 miliar dan menjadi bupati/walikota diperlukan dana sekitar Rp 20 miliar. Ini, tentu saja tidak sebanding dengan gaji yang diterima ketika menjadi gubernur, bupati/walikota. Karena itu, tidak menutup kemungkinan jika para politisi kini berloma-lomba mengembalikan ongkos politik tersebut dengan membuat berbagai proyek bahkan berbau proyek-proyek siluman.

Kondisi ini tentu saja akan mendatangkan sistem dan tata kelola pemerintahan yang tidak sehat. Jangankan kemiskinan dientaskan, kesehatan rakyat tidak akan terpelihara dan infrastruktur pun tidak dapat diperbaiki kalau dana-dana pembangunan cenderung diselewengkan. Karena itu, benar yang dikatakan oleh Nurcholish Madjid, Indonesia sesungguhnya membutuhkan politisi atau pemimpin yang asketis, yaitu ingkar diri sendiri (self denial) dan tidak menikmati reward perjuangan dalam jangka pendek serta menunda kesenangan (to defer the gratification).

Dalam sikap asketis, seorang politisi harus belajar dari filosofi rebung, bukan pisang. Sebab, pisang memiliki daun yang lebar sehingga tidak memberikan kesempatan pada anaknya untuk mendapatkan cahaya matahari yang dibutuhkan untuk dapat hidup. Sementara rebung berdaun kecil dan rela bertelanjang badan, sehingga anaknya mendapat sinar matahari yang cukup untuk pertumbuhan serta berselimut tebal.

Dengan kata lain, politisi yang asketis adalah mereka yang mau berjuang mengabdikan dirinya untuk kepentingan rakyat daripada kepentingan diri sendiri dan golongan. Mereka akan tampil menjadi negarawan-negarawan yang selalu siap untuk rakyatnya. Sebab, modal kepemimpinan mereka adalah pengabdian.

Politisi asketis adalah seorang politisi-negarawan. Tipe politisi ini selalu berusaha menjadikan politik sekedar sebagai alat untuk mencapai kemajuan dan kemakmuran bangsa. Kekuasaan digunakan untuk menciptakan stabilitas nasional. Bahkan, mereka lebih mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa daripada ego kelompok, partai, maupun ego pribadi. Keteladanan, keteguhan, pemikiran, watak dan sikap adalah hal yang utama yang membuat mereka mencuat ke permukaan. Mereka tidak suka menjegal, berkata kotor, memfitnah lawan politiknya, apalagi menilap uang negara.

Mereka, politisi yang negarawan itu juga sangat bijak menyikapi kritik dan serangan lawan politik. Bagi mereka (politisi asketis), keterlibatannya dalam dunia politik adalah tanggungjawab sekaligus amanah yang dipercayakan Tuhan yang harus diperjuangkan sampai titik darah penghabisan.

*Suara Karya, 3 Januari 2012

**Peneliti di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (anggota SIMPATI)



0 komentar:

Posting Komentar