Minggu, 08 Januari 2012

Menyoal Kekerasan terhadap Wartawan*

Oleh Ali Rif‘an**

Tindakan kekerasan terhadap wartawan atau jurnalis akhir-akhir ini marak terjadi. Ambil saja contoh kasus pembunuhan reporter Sun TV Ridwan Salamun di Tual, Maluku Tenggara; pembunuhan terhadap jurnalis Tabloid Pelangi Alfrets Mirulewan di Pulau Kisar, Maluku; pembakaran rumah wartawan Rote Ndao News Dance Henukh, di Nusa Tenggara Timur, atau yang baru-baru ini menimpa wartawan Jurnal Nasional, Oscar Ferri.

Ridwan tewas saat meliput bentrok antarwarga di Tual. Alrets dibunuh saat sedang melakukan liputan investigasi perdagangan gelap bahan bakar minyak di Kabupaten Maluku Barat Daya. Dance mengalami kekerasan terkait pemberitaan Rote Ndao News tentang dugaan korupsi alokasi dana desa dan pembangunan rumah transmigrasi lokal senilai Rp3,1 miliar di Rote Ndao. Sementara Oscar dipukul oknum TNI hanya gara-gara saling pandang.

Apa pun motif dan alasannya, aksi kekerasan adalah tindakan terkutuk dan tidak boleh dilakukan, termasuk kepada wartawan. Tindakan kekerasan, tulis Benjamin Barber (1984), hanya akan melemahkan negara. Negara punya hukum dan aturan. Negara yang berhak memberi sanksi kepada siapa pun yang bersalah sesuai undang-undang.

Terus Berulang

Sebenarnya, kasus kekerasan terhadap wartawan bukan kali pertama terjadi. Dalam catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, selama 2011 terdapat 49 kasus kekerasan terhadap jurnalis, baik kekerasan fisik maupun nonfisik. Pada catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers lebih tinggi lagi: tahun 2011 tercatat ada 96 kasus kekerasan terhadap wartawan (Jurnal Nasional, 31/12/2011).

Sementara Dewan Pers selama tahun 2010 menangani sedikitnya 66 kasus kekerasan yang dialami jurnalis dan media massa. Jika diusut, penyebab kekerasan macam-macam. Mulai soal sepele sampai soal rumit terkait akumulasi kekuasaan. Mulai dari ketidakpuasan pemberitaan media sampai ke pencemaran nama baik.

Kita barangkali masih ingat wartawan Harian Bernas, Fuad Muhammad Syafrudin (Udin), yang dianiaya orang tak dikenal di rumahnya, Dusun Gelangan Samalo, Bantul, Yogyakarta. Udin tewas Agustus 1996, dan hingga sekarang pelakunya tidak diketahui. Kekerasan terhadap Udin sebenarnya hampir sama dengan yang menimpa para wartawan sekarang. Udin dianiaya akibat pemberitaannya terkait kebijakan Pemkab Bantul yang kurang populis ketika itu.

Yang menyedihkan, proses hukum yang sudah sekian lama itu masih tetap gelap hingga sekarang. Bahkan, pada 17 Agustus 2011 lalu dikabarkan, Kapolda DIY Brigjen Pol Tjuk Basuki menyatakan kasus ini sudah ditutup. Fakta ini menandakan bahwa perlindungan negara terhadap jurnalis yang termaktub dalam UU 40 Tahun 1999 tentang Pers masih jauh dari harapan. Ini menjadi ironi bagi Indonesia yang berstatus sebagai negara demokrasi terbesar nomor empat di dunia. Sebab, pers salah satu pilar penting demokrasi. Wartawan--sebagai insan pers sekaligus katalisator dari berbagai informasi--harus dilindungi.

Memang wartawan tak kebal hukum. Media juga tak selalu benar. Tapi jika terjadi kekecewaan terhadap pemberitaan media, selayaknya diselesaikan dengan cara-cara humanis. Persoalan jurnalistik harus diselesaikan dengan cara-cara jurnalistik pula. Setiap wartawan diberi kode etik jurnalistik. Jadi, warga yang merasa dirugikan atas pemberitaan bisa keberatan atau minta berita itu dicabut sesuai aturan yang ada.

Kode Etik

Tentu saja, dalam praktiknya, wartawan tidak melulu benar. Wartawan juga kadang juga salah, melanggar kode etik dan tidak mampu menjalankan sikap profesionalitasnya. Ini terbukti dari catatan AJI, misalnya: selain kasus kekerasan terhadap wartawan yang terus meningkat, pelanggaran kode etik yang dilakukan wartawan juga terus naik. Sebut saja, pengaduan masyarakat terkait pelanggaran etika pemberitaan pers hingga Oktober 2011 kemarin, AJI mencacat terdapat 470 kasus. Sementara di tahun 2010 tercatat 514 kasus.

Ini menjadi sinyal bahwa warga (konsumen berita) dan wartawan (produsen berita) belum mampu bersinergi. Padahal, untuk menyokong majunya proses demokratisasi di Indonesia, keduanya harus saling mendukung dan kooperatif. Tentu saja kesadaran kolektif harus dibangun di antara keduanya. Sebagai warga, kita harus menghormati posisi wartawan sebagai produsen berita. Wartawan bekerja berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai landasan hukumnya dan Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) sebagai dasar etiknya.

Dengan UU Pers itu, kebebasan wartawan dalam bekerja diakui oleh negara dan siapa saja yang menghalangi tugas wartawan diancam dengan sanksi pidana yang berat. Kemerdekaan pers menjadi bagian dari hak asasi manusia. Dengan kemerdekaan itu, diharapkan demokrasi di Indonesia makin maju, hak-hak individu dihargai, dan kesejahteraan rakyat meningkat.

Sebagai wartawan, kita harus sadar bahwa informasi merupakan kebutuhan pokok setiap orang bagi pengembangan pribadi dan bangsa. Hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia, dan keterbukaan informasi publik salah satu ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik. Dalam kode etik jurnalistik disebutkan, kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia.

Tentu saja, dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan harus menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama. Dengan begitu, dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers diharapkan mampu menghormati hak asasi setiap orang. Dalam Kode Etik Jurnalistik Pasal 3 disebutkan, “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah."

Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.


*Terbit di Jurnal Nasional Sabtu, 7 Jan 2012

**Peneliti di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (Anggota SIMPATI)



0 komentar:

Posting Komentar