Kamis, 08 September 2011

Gelar Doktor dan Etika Sosial

Penganugerahan gelar doktor kehormatan (honoris causa/HC) kepada Raja Arab Saudi oleh Universitas Indonesia (UI) menuai pro dan kontra. Rektor UI Prof Dr Gumilar Rusliwa Somantri, yang memberikan gelar tersebut kepada Raja Abdullah bin Abdul-Azis, 21 Agustus 2011 lalu di Istana Kerajaan Arab Saudi, diprotes banyak kalangan di dalam negeri.

Munculnya protes tersebut paling tidak didasarkan pada dua alasan. Pertama, dalam beberapa tahun terakhir ini, eksistensi Arab Saudi di Indonesia sedang kurang populer. Ada dua masalah yang menjadi penyebabnya, soal haji dan kasus pelecehan terhadap TKI yang bekerja di negara minyak tersebut.

Kedua, di dalam internal Universitas Indonesia (UI) sendiri, Gumilar dianggap kerap mengeluarkan kebijakan yang kontroversial dan tanpa mengindahkan musyawarah, seperti kurang adanya transparansi dalam hal keuangan kampus dan sepihak dalam pengambilan keputusan. Pemberian gelar doktor HC kepada Raja Arab adalah puncaknya.

Secara akademis, sebenarnya tak ada yang salah dengan pemberian gelar doktor HC kepada Raja Arab Saudi oleh Universitas Indonesia (UI). Gumilar memberikan gelar itu karena Raja Abdullah dianggap telah berkontribusi dalam mempromosikan pengajaran Islam yang moderat, mendukung perdamaian Palestina, dan menginisiasi dialog antar-agama.

Raja Abdullah juga dikenal memiliki pandangan yang inklusif terhadapa agama lain. Hal itu dibuktikannya dengan kunjungan bersejarah dan bertemu dengan Paus Benedictus di Vatikan pada 6 November 2007. Lalu pada 4-6 November 2008, di tempat yang sama, digelar dialog Islam-Kristen. Selain itu, di tahun yang sama, Raja Abdullah memprakarsai penyelenggaraan dialog antar-agama di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat.

Meski memiliki rekam jejak yang konstruktif terhadap kehidupan kemanusiaan-seperti dialog antar-agama dan demokrasi--, menurut beberapa kalangan, termasuk kalangan internal UI, gelar doktor HC tidak pantas diberikan kepada Raja Abdullah. Raja Arab tersebut dinilai tidak berperikemanusiaan dalam kasus TKI.

Karena itu, sebagai penjaga gawang UI, Gumilar dituding tidak mempertimbangkan berbagai praktik di Saudi Arabia yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Salah satu kasus yang mendapat perhatian besar adalah ketidakpedulian pemerintah Arab Saudi terhadap nasib tenaga kerja asal Indonesia (TKI). Tidak sedikit TKI yang mendapatkan perlakuan tidak manusiawi. Ruyati, misalnya, yang dihukum pancung pada Juni lalu. Praktik hukum pancung ini sebenarnya telah dikritik oleh banyak pihak, termasuk dari Amnesti Internasional yang malah meminta Arab Saudi menghentikannya.

Tentu saja gelar doktor HC ini berbeda dengan yang diberikan kepada tokoh-tokoh di Indonesia semisal BJ Habibie, Rosihan Anwar, Mustofa Bisri (Gus Mus), Sahal Mahfud, Soekarno, Ajip Rosidi, dan Hermawan. Habibie, misalnya, dinilai pantas mendapatkan doktor HC karena penemuan-penemuannya yang spektakuler tentang teknologi. Ia juga mengabdikan hidupnya pada pembangunan teknologi di Indonesia.

Sementara Rosihan Anwar dinilai sangat besar kontribusinya dalam peta jurnalistik di Indonesia. Gus Mus dikenal sebagai kiai yang selalu memperjuangkan toleransi dan perdamaian. Sedangkan Sahal Mahfud adalah kiai salaf yang berpikiran modern dan selalu menyuarakan pentingnya kontekstualisasi ilmu fiqih. Di tangan Kiai Sahal inilah lahir apa yang disebut dengan "fiqih kontemprer".

Adapun Soekarno adalah nasionalis Indonesia yang tak ada duanya. Semangat Soekarno dalam mengobarkan "api Islam" itulah yang membuatnya diberi gelar kehormatan oleh IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang UIN). Sementara Ajip Rosidi dinilai pantas mendapatkan doktor HC berkat kontribusinya dalam pelestarian budaya (Sunda). Hermawan dikenal sebagai pakar yang sangat mumpuni dalam mengebangkan ilmu pemasaran (marketing).

Sebenarnya, gelar doktor itu ada dua. Pertama, gelar doktor akademis, yakni doktor yang diperoleh atau diberikan kepada seseorang yang telah dinyatakan lulus dalam ujian disertasi secara bertahap. Paling tidak, ada tiga tahap pemerolehan gelar doktor, yaitu ujian proposal, ujian tertutup, dan ujian terbuka.

Biasanya, sebelum menempuh ujian terbuka, kandidat doktor diwajibkan menyajikan hasil penelitiannya, baik dalam forum ilmiah maupun melalui jurnal ilmiah terakreditasi. Kedua, gelar doktor kehormatan (honoris causa). Gelar doktor ini diperoleh karena penghargaan yang diberikan PT atas kiprah dan kontribusinya dalam bidang ilmu pengetahuan dan kemanusiaan.

Pada titik inilah penganugerahan gelar kehormatan kepada Raja Abdullah tidak selaras dengan etika sosial dan kiprahnya dalam bidang kemanusiaan, khususnya di Indonesia. Harus diakui, hukum adalah bagian dari ilmu sosial kemasyarakatan itu sendiri. Penerapan hukum pancung, baik dari segi etika, moral, maupun kemanusiaan, tentu saja tidak sesuai dengan pandangan bangsa Indonesia.

Sehingga cukup mengherankan hal-hal yang sensitif itu tidak menjadi pertimbangan dalam pemberian penghargaan tersebut. Karena itu, kontroversi terhadap penganugerahan doktor HC kepada Raja Abdullah tidak perlu terjadi jika etika sosial diperhatikan oleh Profesor Gumilar--selaku penjaga gawang sah kampus ternama Universitas Indonesia.


Dikutip dari catatan Ali Rif'an


0 komentar:

Posting Komentar