Bagi masyarakat muslim Indonesia, bulan Agustus kali ini memiliki makna berbeda, yakni menjalankan ibadah bulan puasa sekaligus memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-66. Dalam kontek tersebut—baik bulan Ramadhan maupun 17 Agustus—keduanya menghadirkan momentum yang bertemu pada satu titik, yaitu kemerdekaan. Hanya saja, konteks kemerdekaan yang terkadung di dalamnya berbeda. Tujuh belas Agustus bisa dibilang sebagai kemerdekaan yang berupa fisik, sementara Ramadhan lebih identik dengan kemerdekaan non-fisik.
Kemerdekaan fisik tujuh belas Agustus tercermin dari terbebasnya rakyat Indonesia dari cengkraman para kaum kolonial. Kemerdekaan dalam konteks ini lebih diorientasikan bagaimana rakyat Indonesia tidak lagi ditindas dan dijajah oleh bangsa asing, bagaimana kekayaan alam tidak lagi dikuras oleh para penjajah, rakyat Indonesia bisa sejahtera, mempunyai papan, sandang dan pangan yang layak, dan seterusnya.
Sedangkan kemerdekaan yang diusung dalam bulan Ramadhan adalah kemerdekaan jiwa, ruh, dan mental-spiritual. Puasa pada dasarnya merupakan kekuatan pembebas (liberating power) dari belenggu penjajahan. Penjajahan dalam konteks puasa lekat dengan hal-hal yang berkategori ruhani, seperti suka berbohong, berhianat, mencela, korupsi, maling, sombong, menang sendiri, bertindak sewenang-wenang, anarkis, dan lain sebagainya.
Kemerdekaan Mendesak
Pada saat ini, kemerdekaan mendesak yang harus segera diwujudkan adalah kemerdekaan Ramadhan (kemerdekaan ruhani). Spirit kemerdekaan yang terkandung dalam bulan Ramadhan selayaknya ditancapkan dalam setiap segi-dimensi kehidupan berbangsa. Sebab, kemerdekaan fisik sudah tampak dengan terbebasnya rakyat Indonesia dari belenggu, pengangkangan, dan penindasan oleh bangsa asing. Sementara kemerdekaan ruhani masih mengundang “tanda tanya besar”. Karena harus diakui, menjubelnya permasalahan yang belakangan menimpa bangsa ini menandakan bahwa ruhani kita masih terjajah. Artinya, kekacauan diri akan berimplikasi pada kekacauan sistem dan tatanan dalam masyarakat, bangsa dan negara. Karena sebuah masyarakat, bangsa dan negara dibangun oleh individu-individu di dalamnya.
Kita bisa saksikan pada level pejabat publik dan elite politik, kasus korupsi dan suap kini kian merajalela. Kasus Gayus dan Nazaruddin yang kini sedang menjadi bola panas adalah potret bahwa kondisi moral para petinggi pejabat kita masih sakit. Ini belum kasus korupsi yang mendera para elite pemerintah disegala bidang. Bayangkan saja, sepanjang 2004-2011, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat sebanyak 158 kasus korupsi yang menimpa kepala daerah yang terdiri atas gubernur, bupati, dan wali kota. Sementara dari kurun waktu 2008-2011, sedikitnya terdapat 42 anggota DPR terseret kasus korupsi (Kompas, 20/6). Data dari Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM (Pukat Korupsi) juga menyebutkan bahwa pada medium 2010, Indonesia mendapati 124 kasus korupsi. Ironisnya, pelaku tindak koruptif tersebut paling banyak dilakukan oleh para pejabat negara.
Tak berhenti di situ, kontestasi politik kita belakangan pun disuguhi tontonan yang memalukan, seperti pertikaian para elite politik, antarpartai politik dan internal partai politik, penyalahgunaan wewenang dan jabatan, atapun merebaknya politik uang di arena pilkada. Kenapa semua itu terjadi? Karena hati dan jiwa sebagian besar masyarakat kita masih terjajah. Dengan terjajahnya hati dan runani, seseorang akan berjalan tidak stabil, kacau, dan cenderung menuruti nalar hewani. Untuk itu, puasa disyariatkan tidak lain dan tidak bukan adalah untuk membabat habis mental dan hati yang rusak tersebut. Tujuan puasa adalah membebaskan jiwa atau hati (qolb) dari penyakit-penyakit ruhani. Puasa mampu mendorong manusia untuk mempraktikkan perilaku tidak koruptif, mengendalikan diri dari segala sifat hewan, dan mencari hakikat kebenaran yang transendental.
Puasa mendesak kita untuk bisa kembali kepada fitrah sebagai manusia seutuhnya. Eksistensi kesederhanaan dan kejujuran yang memang merupakan sifat dasar manusiawi. Islam memang agama yang tidak menentang kepemilikan harta dan pemenuhan hasrat duniawi, namun spirit ketauhidan menginterupsi hasrat kita berlaku adil dalam menciptakan kesalihan sosial. Puasa juga menghadirkan pendidikan berupa latihan agar dalam memenuhi aneka dorongan tubuh terarah ke jalan yang benar, tidak melanggar etika sosial keagamaan, dan tidak melanggar harmoni kehidupan sosial kemasyarakatan. Melalui puasa, kita akan menemukan kolerasi dan koherensi antara tujuan mulia kemanusiaan dan kenegaraan dengan jalan menjauhi pembohongan, ketidakadilan, demoralisasi, dan intoleransi.
Inti puasa adalah mencipta manusia agar menjadi lebih baik dan sempurna. Seperti ulat ketika hendak menjadi kupu-kupu yang indah, ia harus berpuasa terlebih dahulu dengan menjadi kepompong. Karena itu, puasa dalam Islam bertujuan untuk mencapai tingkat ketakwaan setinggi-tingginya guna melahirkan kesalehan sosial. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183). Takwa, sebagaimana dikatakan cendekiawan muslim Azyumardi Azra (2011), merupakan salah satu maqom spiritual tertinggi dalam Islam. Mereka yang mencapai maqom ini akan terpelihara dalam segenap pemikiran dan perbuatannya dari hal-hal yang melanggar syariat.
Untuk itu, mari kita jadikan bulan Ramadhan kali ini tidak hanya sekadar menjadi ritual yang kaku dan beku. Kita jadikan ibadah puasa sebagai oase yang menyirami kita dari segala kegersangan yang mendera. Hakikat puasa adalah untuk menahan hawa nafsu. Esensi Ramadhan seharusnya menjadi titik tolak kemerdekaan. Sebuah kemerdekaan hakiki yang akan mampu mengentaskan bangsa ini dari segala keterpurukan.