Fatwa Haram Info-setan
Oleh Miftahul Anam
Tulisan Tjipta Lesmana berjudul “Infotainment” dan “Info-setan” Sama Merusak (SinarHarapan, 7/8/2006), menarik untuk dikaji kembali. Ia menyayangkan mengapa Nahdlatul Ulama (NU) tidak mengeluarkan fatwa yang sama terhadap tayangan yang mengekspos persoalan seputar setan dengan kemasan ajaran agama, sebagaimana fatwa haram yang dikeluarkan terhadap infotainment.
Tjipta benar. Program info-setan tak kalah merusak dibanding infotainment. Alih-alih informatif dan edukatif serta mencerminkan tanggung jawab sosial. Kedua tayangan itu justru lebih potensial merusak otak pemirsa. Semua itu hanya omong kosong yang didramatisasi belaka. Tayangan seperti itu, misalnya, dapat menimbulkan rasa takut di benak anak kecil yang ikut menonton.
Tayangan yang menyuguhkan adegan seperti mayat atau keranda terbang, mayat meledak, mayat orang tak beriman bermuka penuh belatung dan sejenisnya, sesungguhnya tak kalah berbahaya dari bergunjing (ghibah). Tayangan-tayangan semacam itu juga amat kental dengan justifikasi keagamaan.
Selain itu, pesan-pesan keagamaan yang disajikan juga cenderung memonopoli tafsir dan kurang menghargai pluralitas. Bukan mustahil, menurunnya toleransi terhadap perbedaan keyakinan, aliran, serta tafsir keagamaan masyarakat kita akhir-akhir ini salah satunya dipicu oleh tayangan-tayangan semacam ini.
Anehnya, tayangan yang kerap menampilkan adegan makhluk gaib menyeramkan itu dinikmati pemirsa bukan sebagai tayangan menakutkan, melainkan sebagai hiburan. Info-setan demikian laris ditonton bukan karena ia menakutkan, tetapi karena menghibur, meski dengan cara berbeda. Dalam hal ini, info-setan tak jauh beda dengan tayangan hiburan semacam infotainment yang sama-sama mempertontonkan kedangkalan.
Yang juga mengherankan, keduanya termasuk tayangan berating tinggi. Telah umum diketahui, bahwa dari prosentase iklan, pemasukan kedua tayangan tersebut jauh di atas tayangan edukatif sejenis berita atau dialog masalah-masalah aktual di layar kaca. Infotainment dan info-setan telah menjadi bagian penting konsumsi masyarakat kita terhadap media. Keduanya begitu ditunggu-tunggu penayangannya oleh mayoritas pemirsa kita—melebihi tayangan-tayangan lain yang lebih menghargai akal sehat.
Kiranya tak berlebihan bila sejumlah pemerhati media menyebut kedua tayangan tersebut memang terbukti merusak. Sehingga ormas keagamaan seperti NU harus berfatwa dengan mengajak masyarakat mengharamkan isi tayangan tersebut. Tetapi, bagi saya, infotainment perlu diharamkan bukan “sekadar” karena ia menggunjing privasi orang yang belum jelas kebenarannya, sebagaimana disinyalir ulama NU.
Lebih jauh, faktanya infotainment bukan sekadar perkara prasangka buruk (su’udzon) belaka. Infotainment telah megidentifikasi diri sebagai prasangka (buruk) yang terbukti benar (su’u al-yaqin). Bila dalam infotainment isu perselingkuhan pasangan artis selalu diberitakan, misalnya, pada gilirannya masyarakat akan memercayainya sebagai kebenaran.
Logika yang kerap membombardir pemirsa lewat tayangan-tayangan semacam itu sungguh merusak martabat jurnalisme dan akal sehat. Demikian halnya dengan info-setan. Namun, yang sungguh menyedihkan, di hampir seluruh stasiun televisi kita (kecuali TVRI dan Metro TV) menayangkan adegan yang menampilkan “hantu penghibur” itu.
Dengan segala macam kemasan yang mengaduk-aduk rasa penasaran, sesuatu yang gaib—yang seharusnya amat tidak patut dipertontonkan sedemikian vulgar—telah dikomodifikasi sedemikian rupa layaknya ramuan kuat pasutri atau salep penumbuh bulu dalam iklan-iklan komersial. Apakah gerangan yang menjangkiti masyarakat kita, sehingga hantu pun dipoles menjadi penghibur?
Menghibur diri sampai mati
Masyarakat kita telah terjangkiti gejala kejiwaan yang membahayakan. Dan seperti tak akan terjadi apa-apa, infotainment dan info-setan telah menjadi menu hiburan favorit di banyak keluarga. Aneh, memang. Ketika sekelompok pemerhati media di Amerika membuat daftar junk food news tentang media yang memuat liputan selebriti secara berlebihan, misalnya, pebisnis infotainment di Indonesia malah kian berjaya.
Kenyataan tersebut sungguh memprihatinkan. Dalam kelimpahruahan informasi, pemirsa digairahkan dengan ekstasi memandang, menonton, dan mendengar. Akan tetapi, yang ditawarkan lebih banyak kekosongan dan kehampaan. Pemirsa disuguhi oleh aneka macam bujukan, rayuan, kesenangan, kepuasan, akan tetapi apa yang diperoleh tak lebih dari rasa ketidakpuasan abadi.
Sebuah situasi yang oleh Neil Postman disebut sebagai menghibur diri sampai mati! Dengan mengkonsumsi tayangan-tayangan yang merusak akal sehat semacam itu, pemirsa sesungguhnya telah melakukan bunuh diri, namun tanpa pernah sadar bahwa yang mereka lakukan adalah bunuh diri.
Postman, guru besar ilmu komunikasi New York University, menulis sebuah buku menarik berjudul Amusing Ourselves to Death (Menghibur Diri Sampai Mati: Mewaspadai Media Televisi, Pustaka Sinar Harapan, 1995). Ia mengingatkan kita pada bahaya riil yang telah terjadi sekarang dan memberikan saran-saran yang mendesak. Termasuk bagaimana menghadapi malapetaka yang disajikan media massa (televisi). Ia berharap pada dunia pendidikan sebagai medium komunikasi yang secara teoritis bisa menjawab “teror” media massa.
Mengikuti anjuran Postman di atas, tampaknya dunia pendidikan kita secara umum belum setangguh yang diharapkan. Kualitas sistem pendidikan nasional Indonesia secara umum amat payah. Jika dibandingkan dengan masih jauh dari memadainya kualitas SDM dan infrastruktur pendidikan kita, keberhasilan segelintir siswa kita di ajang Olimpiade Fisika atau Kimia Internasional menjadi tidak ada artinya.
Walaupun demikian, pendidikan dari keluarga yang baik amat penting dalam membendung pengaruh tayangan televisi yang merusak. Di sinilah peran kedua orang tua menjadi tumpuan. Tak pelak, tugas mereka di setiap keluarga makin berat menyusul derasnya arus globalisasi informasi saat ini. Dengan komunikasi yang baik, saling pengertian, rendah hati, serta keteladanan moral, saya kira pengaruh buruk televisi bukan sesuatu yang mustahil dikikis.
Demikian pula peran komisi penyiaran, dewan pers, LSM-LSM pemantau media, organisasi sosial keagamaan seperti NU, Muhamadiyah dan lainnya. Organ-organ ini berperan semakin penting di saat industri media di negeri ini menjadi begitu komersil dan kian menonjolkan sisi hiburan ketimbang sisi informasinya.
Fatwa Haram
Lembaga penyiaran yang berwenang sudah semestinya mengambil tindakan tegas, sekurang-kurangnya dengan selalu menggelorakan pentingnya tanggungjawab sosial media massa. Sehingga, media massa kita bukan sekadar pekerja kapitalisme informasi belaka, yang lebih memanjakan pemirsa dengan melulu hiburan dan kontestasi gaya hidup. Media massa mesti mengambil peran terhormat sebagai media pencerdasan melalui informasi serta hiburan yang mendidik.
Karena itu, tayangan info-setan dalam berbagai bentuknya mendesak untuk segera disikapi. Bila infotainment terbukti potensial merusak, karena itu diharamkan belum lama ini, selayaknya hal yang sama juga diberlakukan terhadap info-setan. Alih-alih bermanfaat, tayangan semacam ini lebih banyak mendatangkan madarat.
Organisasi sosial keagamaan seperti NU juga mesti bersikap adil melihat kenyataan; demikian halnya dalam mengeluarkan fatwa. Bila kedua jenis tayangan tersebut memang sama-sama merusak umat (akal sehat), kenapa fatwa itu hanya berlaku untuk infotainment? Info-setan menyimpan bom waktu yang tak kalah megerikan. Sudah saatnya info-setan diharamkan.[] Miftahul Anam, Pemerhati Media; Mantan Koordinator Forum Pers Mahasiswa se-Jabotabek (FPMJ). Dimuat Harian Sinar Harapan, Agustus 2006.
Selengkapnya...
Oleh Miftahul Anam
Tulisan Tjipta Lesmana berjudul “Infotainment” dan “Info-setan” Sama Merusak (SinarHarapan, 7/8/2006), menarik untuk dikaji kembali. Ia menyayangkan mengapa Nahdlatul Ulama (NU) tidak mengeluarkan fatwa yang sama terhadap tayangan yang mengekspos persoalan seputar setan dengan kemasan ajaran agama, sebagaimana fatwa haram yang dikeluarkan terhadap infotainment.
Tjipta benar. Program info-setan tak kalah merusak dibanding infotainment. Alih-alih informatif dan edukatif serta mencerminkan tanggung jawab sosial. Kedua tayangan itu justru lebih potensial merusak otak pemirsa. Semua itu hanya omong kosong yang didramatisasi belaka. Tayangan seperti itu, misalnya, dapat menimbulkan rasa takut di benak anak kecil yang ikut menonton.
Tayangan yang menyuguhkan adegan seperti mayat atau keranda terbang, mayat meledak, mayat orang tak beriman bermuka penuh belatung dan sejenisnya, sesungguhnya tak kalah berbahaya dari bergunjing (ghibah). Tayangan-tayangan semacam itu juga amat kental dengan justifikasi keagamaan.
Selain itu, pesan-pesan keagamaan yang disajikan juga cenderung memonopoli tafsir dan kurang menghargai pluralitas. Bukan mustahil, menurunnya toleransi terhadap perbedaan keyakinan, aliran, serta tafsir keagamaan masyarakat kita akhir-akhir ini salah satunya dipicu oleh tayangan-tayangan semacam ini.
Anehnya, tayangan yang kerap menampilkan adegan makhluk gaib menyeramkan itu dinikmati pemirsa bukan sebagai tayangan menakutkan, melainkan sebagai hiburan. Info-setan demikian laris ditonton bukan karena ia menakutkan, tetapi karena menghibur, meski dengan cara berbeda. Dalam hal ini, info-setan tak jauh beda dengan tayangan hiburan semacam infotainment yang sama-sama mempertontonkan kedangkalan.
Yang juga mengherankan, keduanya termasuk tayangan berating tinggi. Telah umum diketahui, bahwa dari prosentase iklan, pemasukan kedua tayangan tersebut jauh di atas tayangan edukatif sejenis berita atau dialog masalah-masalah aktual di layar kaca. Infotainment dan info-setan telah menjadi bagian penting konsumsi masyarakat kita terhadap media. Keduanya begitu ditunggu-tunggu penayangannya oleh mayoritas pemirsa kita—melebihi tayangan-tayangan lain yang lebih menghargai akal sehat.
Kiranya tak berlebihan bila sejumlah pemerhati media menyebut kedua tayangan tersebut memang terbukti merusak. Sehingga ormas keagamaan seperti NU harus berfatwa dengan mengajak masyarakat mengharamkan isi tayangan tersebut. Tetapi, bagi saya, infotainment perlu diharamkan bukan “sekadar” karena ia menggunjing privasi orang yang belum jelas kebenarannya, sebagaimana disinyalir ulama NU.
Lebih jauh, faktanya infotainment bukan sekadar perkara prasangka buruk (su’udzon) belaka. Infotainment telah megidentifikasi diri sebagai prasangka (buruk) yang terbukti benar (su’u al-yaqin). Bila dalam infotainment isu perselingkuhan pasangan artis selalu diberitakan, misalnya, pada gilirannya masyarakat akan memercayainya sebagai kebenaran.
Logika yang kerap membombardir pemirsa lewat tayangan-tayangan semacam itu sungguh merusak martabat jurnalisme dan akal sehat. Demikian halnya dengan info-setan. Namun, yang sungguh menyedihkan, di hampir seluruh stasiun televisi kita (kecuali TVRI dan Metro TV) menayangkan adegan yang menampilkan “hantu penghibur” itu.
Dengan segala macam kemasan yang mengaduk-aduk rasa penasaran, sesuatu yang gaib—yang seharusnya amat tidak patut dipertontonkan sedemikian vulgar—telah dikomodifikasi sedemikian rupa layaknya ramuan kuat pasutri atau salep penumbuh bulu dalam iklan-iklan komersial. Apakah gerangan yang menjangkiti masyarakat kita, sehingga hantu pun dipoles menjadi penghibur?
Menghibur diri sampai mati
Masyarakat kita telah terjangkiti gejala kejiwaan yang membahayakan. Dan seperti tak akan terjadi apa-apa, infotainment dan info-setan telah menjadi menu hiburan favorit di banyak keluarga. Aneh, memang. Ketika sekelompok pemerhati media di Amerika membuat daftar junk food news tentang media yang memuat liputan selebriti secara berlebihan, misalnya, pebisnis infotainment di Indonesia malah kian berjaya.
Kenyataan tersebut sungguh memprihatinkan. Dalam kelimpahruahan informasi, pemirsa digairahkan dengan ekstasi memandang, menonton, dan mendengar. Akan tetapi, yang ditawarkan lebih banyak kekosongan dan kehampaan. Pemirsa disuguhi oleh aneka macam bujukan, rayuan, kesenangan, kepuasan, akan tetapi apa yang diperoleh tak lebih dari rasa ketidakpuasan abadi.
Sebuah situasi yang oleh Neil Postman disebut sebagai menghibur diri sampai mati! Dengan mengkonsumsi tayangan-tayangan yang merusak akal sehat semacam itu, pemirsa sesungguhnya telah melakukan bunuh diri, namun tanpa pernah sadar bahwa yang mereka lakukan adalah bunuh diri.
Postman, guru besar ilmu komunikasi New York University, menulis sebuah buku menarik berjudul Amusing Ourselves to Death (Menghibur Diri Sampai Mati: Mewaspadai Media Televisi, Pustaka Sinar Harapan, 1995). Ia mengingatkan kita pada bahaya riil yang telah terjadi sekarang dan memberikan saran-saran yang mendesak. Termasuk bagaimana menghadapi malapetaka yang disajikan media massa (televisi). Ia berharap pada dunia pendidikan sebagai medium komunikasi yang secara teoritis bisa menjawab “teror” media massa.
Mengikuti anjuran Postman di atas, tampaknya dunia pendidikan kita secara umum belum setangguh yang diharapkan. Kualitas sistem pendidikan nasional Indonesia secara umum amat payah. Jika dibandingkan dengan masih jauh dari memadainya kualitas SDM dan infrastruktur pendidikan kita, keberhasilan segelintir siswa kita di ajang Olimpiade Fisika atau Kimia Internasional menjadi tidak ada artinya.
Walaupun demikian, pendidikan dari keluarga yang baik amat penting dalam membendung pengaruh tayangan televisi yang merusak. Di sinilah peran kedua orang tua menjadi tumpuan. Tak pelak, tugas mereka di setiap keluarga makin berat menyusul derasnya arus globalisasi informasi saat ini. Dengan komunikasi yang baik, saling pengertian, rendah hati, serta keteladanan moral, saya kira pengaruh buruk televisi bukan sesuatu yang mustahil dikikis.
Demikian pula peran komisi penyiaran, dewan pers, LSM-LSM pemantau media, organisasi sosial keagamaan seperti NU, Muhamadiyah dan lainnya. Organ-organ ini berperan semakin penting di saat industri media di negeri ini menjadi begitu komersil dan kian menonjolkan sisi hiburan ketimbang sisi informasinya.
Fatwa Haram
Lembaga penyiaran yang berwenang sudah semestinya mengambil tindakan tegas, sekurang-kurangnya dengan selalu menggelorakan pentingnya tanggungjawab sosial media massa. Sehingga, media massa kita bukan sekadar pekerja kapitalisme informasi belaka, yang lebih memanjakan pemirsa dengan melulu hiburan dan kontestasi gaya hidup. Media massa mesti mengambil peran terhormat sebagai media pencerdasan melalui informasi serta hiburan yang mendidik.
Karena itu, tayangan info-setan dalam berbagai bentuknya mendesak untuk segera disikapi. Bila infotainment terbukti potensial merusak, karena itu diharamkan belum lama ini, selayaknya hal yang sama juga diberlakukan terhadap info-setan. Alih-alih bermanfaat, tayangan semacam ini lebih banyak mendatangkan madarat.
Organisasi sosial keagamaan seperti NU juga mesti bersikap adil melihat kenyataan; demikian halnya dalam mengeluarkan fatwa. Bila kedua jenis tayangan tersebut memang sama-sama merusak umat (akal sehat), kenapa fatwa itu hanya berlaku untuk infotainment? Info-setan menyimpan bom waktu yang tak kalah megerikan. Sudah saatnya info-setan diharamkan.[] Miftahul Anam, Pemerhati Media; Mantan Koordinator Forum Pers Mahasiswa se-Jabotabek (FPMJ). Dimuat Harian Sinar Harapan, Agustus 2006.